Jumat, 25 November 2016

Berita

Kasus Manulife Masih Membara
Pengadilan Niaga mencabut kewenangan Paul Sukran selaku kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. Perjalanan kasus heboh ini akan semakin panjang.
A. Reza Rohadian, Pringgo Sanyoto, dan Lutfi Setiawan

Heboh kisah pemailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) belum sepenuhnya berakhir. Kasus yang sempat membuat pemerintah Kanada—negara asal Manulife—pusing tujuh keliling ini masih menyisakan bara nan tak kunjung padam di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selasa pekan lalu, majelis hakim yang dipimpin Agus Subroto memutuskan untuk mengganti Paul Sukran, kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. (DSS), dengan Hardy M.L. Tobing.

Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat bahwa penyelenggaraan rapat kreditor tanggal 7 September 2004 telah memenuhi persyaratan. Menurut ketentuan Pasal 71 dan 90 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, pengambilan suara oleh kreditor dianggap sah jika dihadiri lebih dari setengah jumlah kreditor dan atau kuasa para kreditor yang hadir pada rapat.

DSS adalah perusahaan yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta pada 6 Juni 2000. Sebagai kuratornya lalu ditunjuklah Paul Sukran. Guna mengumpulkan harta debitor pailit, ia lantas memohonkan pailit Manulife. Langkah itu ditempuh lantaran Manulife ogah membayarkan dividen tahun 1999 dan 2000 kepada DSS yang menguasai 40% saham perusahaan asuransi itu.

Awalnya, majelis pengadilan niaga mengabulkan permohonan yang disodorkan Paul. Manulife pun dinyatakan pailit. Putusan itu membuat geger dunia hukum dan politik. Duta Besar Kanada untuk Indonesia pun melayangkan protes keras atas putusan pengadilan niaga itu. Belakangan, Mahkamah Agung—yang menolak adanya intervensi politis itu—akhirnya membatalkan putusan pengadilan niaga. Manulife pun terbebas dari status pailit.

Namun, Paul Sukran pantang mundur. Gagal di pengadilan niaga, tanggal 13 Mei 2004, dia menuntut Manulife secara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pokok sengketa yang diajukannya tak berbeda dengan materi yang dia sodorkan pada saat bertarung di pengadilan niaga, yakni dividen yang tak dibagikan oleh Manulife. Selain menuntut ganti rugi Rp 164,8 miliar, Paul minta pula agar seluruh aset Manulife disita pengadilan.

Toh, para kreditor tak kalah sigap. Pada 1 Juni 2004, PT Asuransi Jiwa Arta Mandiri Prima (AJAMP) yang tercatat memiliki 0,42% tagihan terhadap DSS melayangkan surat kepada hakim. Isinya, antara lain, meminta diadakan rapat kreditor dengan agenda penggantian kurator serta meminta hakim pengawas untuk mencabut penetapan yang memberi izin kurator kepada Paul.

Langkah AJAMP itu lantas diikuti oleh kreditor-kreditor lainnya. Mereka adalah ABN Amro Bank, JP Morgan, Departemen Keuangan RI (Tim Pemberesan BPPN), dan Deutsche Bank. Akhirnya pada 7 September 2004 AJAMP bersama Deutsche Bank, ABN Amro Bank, dan Ernst & Young melakukan voting untuk penggantian kurator.

Namun bukan Paul Sukran namanya kalau mudah takluk. Ia menolak mentah-mentah hasil voting yang dipimpin oleh hakim pengawas Putu Supadmi. Malah, tanggal 11 Januari 2005, ia meminta majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta untuk membatalkan hasil voting tersebut. Alasannya, pemungutan suara itu hanya diwakili oleh empat dari 13 kreditor. Dan mereka hanya mewakili jumlah tagihan 9,37%.

Tak lupa Paul menyampaikan bahwa kepentingan negara yang diwakili oleh Departemen Keuangan (Tim Pemberesan BPPN dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia alias BPUI) yang memiliki jumlah tagihan mayoritas (sekitar 40%) dari keseluruhan tagihan konkuren belum terwakili. Itu disebabkan sewaktu voting dilangsungkan, wakil Tim Pemberesan BPPN diminta meninggalkan ruang rapat oleh hakim pengawas. Alasan hakim pengawas, wakil Tim Pemberesan BPPN itu tak membawa surat kuasa dari Menteri Keuangan.

Sedangkan BPUI memang tak mengirimkan wakilnya.
Lebih dari itu, Paul mengungkapkan rapat kurator yang membuahkan voting itu dihadiri pula oleh wakil-wakil AJMI. Padahal, rapat itu berlangsung tertutup untuk umum, termasuk bagi AJMI. �AJMI bukan kreditor DSS, melainkan pihak tergugat dalam gugatan yang saya ajukan,� ujarnya.
Namun voting yang ditempuh para kurator bukannya tanpa landasan yang kuat. Sunny Tajudin selaku wakil dari Bank of America, salah satu kreditor DSS, membeberkan sejumlah �dosa� Paul Sukran selaku kurator DSS. Menurut Sunny, Paul selain tidak mengoptimalkan harta pailit, dalam beberapa kesempatan juga tak bertindak untuk kepentingan kreditor.

ASET DAN SAHAM DIJUAL MURAH
Sebut saja penjualan saham-saham di PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk., PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk., dan PT BBL Dharmala Tbk. pada 2003. Terhadap saham-saham itu, Paul menjualnya dengan harga yang sangat murah. Umpamanya saja Maskapai Reasuransi Indonesia. Paul menjual selembar saham perusahaan itu seharga Rp 103,85. Total jenderal harga 59 juta lembar keseluruhan saham itu Rp 6,2 miliar. Padahal harga saham perusahaan itu setelah setahun dijual mencapai Rp 273,08 per lembar. Lalu, saham BBL dihargai Rp 14,6 miliar. Setahun kemudian nilai saham BBL sudah melambung lebih dari Rp 100 miliar.

Selain itu, Sunny mengungkapkan, Paul menolak memberikan berita acara dari sebagian besar rapat, kendati telah berulang-ulang ditagih. Akibatnya, banyak putusan yang diambil dalam rapat kreditor disalahartikan. Ujung-ujungnya, �Paul mengambil tindakan-tindakan tanpa persetujuan kreditor,� tulis Sunny dalam permohonannya kepada majelis hakim untuk mengganti kurator.
Cukup? Masih ada yang lainnya. Paul dituduh tak melaporkan adanya dividen dan pendapatan bunga yang cukup besar.

Sebab, dia, menurut Sunny, telah menahan sejumlah uang tunai secara tidak sah. Di Maskapai Reasuransi Indonesia, nilai dividen yang hilang tercatat Rp 5,6 miliar. Di Asuransi Bina Dana Arta sebanyak Rp 671,75 juta.
Meski dipojokkan dengan seabrek bukti, Paul Sukran belum sudi untuk melempar handuk. Kepada TRUST ia menyatakan putusan majelis hakim sangat janggal. Ia menuduh putusan ini tak lepas dari tekanan pihak kurator. �Saya akan kasasi,� katanya.
Langkah Paul ini jelas akan membuat bara kasus Manulife di PN Jakarta Pusat semakin lama bertahan.

Majalah Trust/Hukum/21/2005-21/02/05